Pendidikan sebagai Proses Transformasi

Pendidikan adalah fondasi pertama bagi tegaknya agama. Karena itu kalam awal yang dihunjamkan ke dalam dada Muhammad, nabi yang utama, adalah pembacaan (iqra’) secara bebas tak terbatas bukan semata terhadap objek yang tertulis (written text) bahkan juga objek yang terhampar (reality) di alam semesta ini yang meliputi makhluk manusia dan non-manusia. Yang pertama membutuhkan instrumen nalar dan intuisi yang prosesnya biasa disebut sebagai tadabbur, sedangkan yang terakhir memerlukan nalar dan indera yang prosesnya sering dinamakan tafakkur

Tadabbur dan tafakkur adalah penanda utama bagi kaum ulul albab, manusia paripurna yang menjadi tujuan dalam proses pendidikan. Melalui tiga instrumen penting itu, manusia bisa mempersepsi, memahami, memaknai, dan merumuskan asumsi-asumsi, hipotesis-hipotesis, hukum-hukum, dan teori-teori tentang semua yang ada di semesta raya ini baik yang dapat diraba maupun tidak dapat diraba.

Jadi, iqra merupakan manifesto ke-ummiy-an yang bekerja dalam dua level transformasi. Pertama, iqra beroperasi sebagai wahana transmisi dan transfer pengetahuan (transfer of knowledge). Proses itu tercermin dalam aras perubahan radikal dari mitos ke nalar, dan dari taklid ke kritis. Iqra adalah manifestasi kemenangan nalar atas mitologi sebagaimana pernah terjadi di dunia Yunani jauh sebelum Islam lahir. Karena nalar memenangkan kompetisi vis a vis mitologi sebagai jawaban artifisial atas problem kehidupan manusia, maka ia menjadi pintu menuju kritisisme.
Nalar adalah pangkal manusia bertanya, mempersoalkan apa yang tampak biasa, menunda sementara waktu pengetahuan yang diterima (abstraksi), mengujinya secara seksama, dan menyusun sistema atas inferensi-inferensi dari proyek reasoning (penalaran) tentang sesuatu yang senyatanya ada. Karena itu, dengan sendirinya taklid merupakan antitesis dari nalar kritis yang selalu mengedepankan prasyarat (reserve) atas pengetahuan manusia.

Kedua, iqra bergerak dalam ranah transmisi dan transfer nilai (transfer of values). Ia bekerja untuk mengubah manusia dari situasi dan lingkungan buta (illiterate) ke keadaan melek (literate). Dari buta ke melek di sini mengandung pengertian yang luas yakni mencakup transformasi nilai-nilai personalitas, kultural, ekonomi, sosial, politik dan bahkan agama. Transformasi personalitas menekankan perubahan bukan semata pada level cara berpikir (mode of thought) yang sejatinya menjadi tugas transfer pengetahuan atau ilmu pengetahuan seperti sudah disebut pada bagian pertama. Lebih dari itu transformasi personalitas adalah perubahan cara bertindak (mode of action) yang mencakup sikap dan perilaku individu. Â


Transformasi Nilai

Egosentrisme merupakan simptom manusia modern yang nir-altruisme dan nir-solidaritas. Kecenderungan mementingkan kepentingan sendiri (selfishness, egosentrism) di atas kepentingan bersama (al-maslahah al-`ammah) terus mewarnai perjalanan bangsa-bangsa. Orang makin tidak peduli pada sesama, bahkan jika perlu siapa makan apa dan siapa makan siapa dilakukan untuk memenuhi hasrat-hasrat bendawi dan kesenangan hedonistik dan snobbish individu dengan mengorbankan orang lain.
Siapa makan apa adalah cermin nafsu hidup untuk makan meski dengan cara yang tidak halal dan thayyib (dari segi substansi dan cara memperolehnya, serta ramah lingkungan dari segi dampaknya).Siapa makan siapa adalah wajah manusia berwatak rendah yang tidak kenal tepo seliro, apatisme terhadap lingkungan sosial. Karena itu, pendidikan harus hadir dan dimaknai sebagai pembentukan karakter (character building) manusia, aktualisasi kedirian yang penuh ihsan dan pengorbanan atas nama kehidupan manusia dan non-manusia.

Perubahan pada nilai-nilai kultural mengarah kepada upaya perumusan serta pembangunan kembali unsur-unsur ide sekaligus material yang menjadi fondasi dan konstruk dari kebudayaan yang mencerahkan. Budaya korup dan menyimpang adalah sasaran bidik dari pendidikan transformatif.

Pada level ekonomi, transformasi nilai ditujukan untuk menaklukkan sistem kehidupan yang zalim menuju terbentuknya sistem berkeadilan. Pendidikan merupakan sarana untuk menanamkan nilai-nilai keadilan yang menjadi antitesis dari praktik-praktik perekonomian koruptif, manipulatif, dan hegemonik. Tugas ini berat mengingat bentuk-bentuk simptom ketidakadilan ekonomi kontemporer yang berwajah globalisasi neo-liberalisme telah melahirkan penindasan atas dua sumberdaya utama: sumberdaya alam dan lingkungan, serta sumberdaya manusia.

Bentuk-bentuk eksploitasi neo-liberalisme merentang dari perusakan atas lingkungan hidup, menguras habis sumberdaya alam bagi segelintir orang yang tergabung dalam perusahaan-perusahaan multi dan transnasional, sekaligus menjadikan manusia sebagai objek pemerasan. Pemerasan atas manusia oleh manusia “ utamanya terhadap kaum pekerja atau buruh “ bisa berupa rezim kontrak kerja yang sepihak, dan pemutusan hubungan kerja sewenang-wenang. Dalam konteks globalisasi kapital, kaum buruh juga menjadi korban kebijaksanaan deteritorialisasi perusahaan dan perusahaan fleksibel.
Deteritorialisasi menyebabkan perusahaan dengan mudah memindahkan basis industrinya dari satu wilayah ke wilayah lain. Ancaman sewaktu-waktu pemindahan lokasi perusahaan ke wilayah-wilayah yang murah dari segi biaya buruh ini mengakibatkan pemutusan hubungan kerja secara massif. Sedangkan yang dimaksud perusahaan fleksibel adalah perusahaan yang memanfaatkan pasukan buruh atau pekerja cadangan untuk menciptakan situasi ketidakpastian terhadap buruh yang sedang bekerja. Buruh dibuat sedemikian rupa dalam situasi kecemasan kontrak kerja yang sewenang-wenang. Artinya, situasi ini dimanfaatkan perusahaan fleksibel untuk menekan daya tawar buruh terhadap perusahaan. Ketiga rezim itu ujung-ujungnya adalah melakukan pemerasan secara legal dan sistemik atas tenaga kerja manusia.

Hubungan Sosial Baru

Dalam situasi semacam ini, pendidikan memikul beban dan tanggung jawab penyadaran kritis atas manusia guna melawan eksploitasi manusia atas manusia. Transformasi nilai pada level kehidupan sosial membawa manusia kepada upaya koreksi dan rekonstruksi atas tatanan sosial yang penuh perbudakan dan ketidakadilan dalam relasi gender. Perbudakan kuno sudah berakhir dengan legislasi perundang-undangan dan hukum-hukum yang anti-perbudakan. Namun demikian, perbudakan model kini lahir jauh lebih kotor dengan jaringan internasional yang kokoh. Jual-beli manusia (utamanya perempuan dan anak-anak) menjadi gejala yang kasat mata. Manusia menjadi komoditas yang dapat dipertukarkan, diperjual-belikan dan disewakan dengan imbalan keuntungan ekonomi yang besar. Bisnis underground economy semacam ini terus meluas dan melibatkan pelaku-pelaku yang luas pula.

Pada saat yang sama, ketidakadilan dalam relasi gender juga masih terus dirasakan. Kekerasan domestik akibat ketimpangan relasi ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Perempuan bukan semata menderita karena menjadi komoditas yang dipertukarkan, bahkan juga menjadi korban kekerasan fisik, psikis, verbal, dan struktural dari rezim patriarkhal yang dominatif.

Pendidikan, dengan demikian, tidak semata perlu mengubah muatan dan metode pembelajaran yang dapat mengurangi bias, stereotip, prasangka, dan diskriminasi sosial. Lebih dari itu pendidikan juga harus memiliki visi dan misi yang jelas untuk menata hubungan-hubungan sosial baru yang berkeadilan.

Perubahan nilai pada level politik menekankan pada penyadaran akan bahaya kekuasaan yang tiranik dan otoriter, sekaligus kritik atas tatanan politik yang timpang. Hegemoni kontemporer paling dominan tercermin pada globalisasi neo-liberalisme seperti dijelaskan di muka, disusul dengan hegemoni kekuasaan dan politik yang wujudnya adalah pemaksaan sistem demokrasi liberal pada semua sistem politik di dunia ini.

Hegemoni lainnya berwujud nafsu perang yang telah memusnahkan berjuta-bejuta jiwa, baik mereka yang mengatasnamakan ihadmaupun crusade, terorisme maupun kontra-terorisme atau war againts terrorism. Kesadaran akan perlunya politik bermoral menjadi kebutuhan mendesak di tengah-tengah hegemoni di atas sekaligus situasi kehidupan politik nasional yang carut-marut karena KKN dalam skala luas. Oleh karena itu, pendidikan politik-kewarganegaraan dan pendidikan anti-korupsi menjadi keharusan yang tak dapat ditawar-tawar lagi.

Agama, sebagai wilayah yang tidak kalah pentingnya, juga merupakan bidang garap pendidikan. Maksudnya, pendidikan bukan ditujukan untuk menciptakan agama baru, tapi lebih diarahkan untuk meninjau kembali modus keberagamaan orang-orang beriman, karena cara-cara beragama yang otoriter terus tumbuh. Mereka yang beriman sering terlibat secara aktif dalam proses demonisasi, yakni mempersetankan individu dan atau kelompok yang masih dalam satu atap iman, kalangan luar (outsiders) atau orang lain (others) yang dipandang berbeda baik dalam hal pikiran-pikiran keagaman (state of mind), maupun dalam sikap dan perilaku keberagamaan.

Dalam konteks semacam itu, pendidikan perlu mengarahkan manusia pada cara-cara beragama yang egaliter dan bersahaja, dan pendidikan harus mentransformasi cara pandang keagamaan dari otoriter ke kemanusiaan. Intinya, semua proses transformasi itu bertujuan untuk mencerabut manusia dari sistem jahiliyah (al-zhulumat) kepada sistem yang mencerahkan dan berkeadaban manusia (al-nur); dari kezaliman (al-zulm) menuju keadilan (al-`adl).





Comments

Popular posts from this blog

Makalah pembiayaan pendidikan

Fungsi Gelombang dan Probabilitas

contoh soal persamaan gelombang