Minimnya sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang ada di beberapa daerah otonom (kabupaten/kota) harus diakui sangat memengaruhi kinerja implementasi otonomi daerah secara maksimal. Tidak sedikit program-program percepatan pembangunan di daerah menjadi sedikit terlambat. Karena itu, masalah keterbatasan kemampuan SDM di daerah haruslah menjadi prioritas dan menjadi tanggung jawab semua pihak agar daerah juga mampu bersiap diri menghadapi derasnya arus globalisasi.

Menurut Ketua Apkasi Syaukani, minimnya SDM berkualitas bukan hanya mempersulit mengejar ketertinggalan, melainkan juga menjadi kendala serius bagi kinerja pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan sosial.

Di sisi lain, katanya, pemerintah daerah juga tak dapat menutup mata terhadap sejumlah tantangan globalisasi di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Sebagai contoh adanya pasar bebas ASEAN yang sudah di depan mata.

Harus diakui, kata Bupati Kutai Kertenegara menlanjutkan penjelasan, bahwa pendidikan adalah mata rantai utama dalam proses peningkatan kualitas SDM. "Tatkala, kebijakan di bidang pendidikan justru mengakibatkan degradasi secara serius terhadap output pendidikan, maka dapat dipastikan bahwa upaya mempertajam kualitas SDM menjadi terhambat, dan pengaruhnya akan terus merembet ke sektor-sektor lain," paparnya.

Menurunnya kualitas output pendidikan, kata Syaukani, dalam beberapa hal dapat dilihat dari hasil survei UNDP tahun 2001 yang menyebutkan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke-46 dari 47 negara untuk kategori daya saing. Sementara itu, catatan Human Development Index (HDI) Indonesia berada pada urutan ke-109 dari 174 negara. "Kuatnya komitmen pemerintah di sektor pendidikan diyakini menjadi salah satu faktor penting bagi upaya perbaikan dan peningkatan kualitas SDM di Indonesia," ujarnya.

Syaukani mengungkapkan, sejauh ini komitmen pemerintah terhadap dunia pendidikan dinilai belum optimal, seperti selama ini terlihat pada minimnya alokasi anggaran pendidikan dalam APBN yang kurang dari 20 persen. Karenanya, pemerintah juga mesti diingatkan untuk tidak mengulangi kesalahan masa lalu dengan menelurkan kebijakan-kebijakan yang sangat sentralistik.

"Ke depan kebijakan di bidang pendidikan mesti segera dibenahi secara serius. Jika perlu, upaya itu harus dilakukan sampai terwujudnya paradigma baru pada dunia pendidikan kita," tuturnya.

Paradigma pendidikan yang selama ini menempatkan kepentingan kekuasaan secara sentral sudah harus dibuang jauh-jauh diganti dengan paradigma yang menempatkan kepentingan insan akademis (pengajar, pengelola, dan anak didik) di tempat yang utama. Maka dari itu, papar Syaukani, upaya beberapa pemerintah daerah di Indonesia pascapemberlakuan UU Otonomi Daerah, untuk menggenjot pembangunan di bidang sumber daya manusia (antara lain melalui pendidikan dan kesehatan) patut dihargai." Setidaknya merupakan langkah strategis dalam menghadapi peluang dan tantangan di masa depan," tandasnya.(smunet)< Minimnya sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang ada di beberapa daerah otonom (kabupaten/kota) harus diakui sangat memengaruhi kinerja implementasi otonomi daerah secara maksimal. Tidak sedikit program-program percepatan pembangunan di daerah menjadi sedikit terlambat. Karena itu, masalah keterbatasan kemampuan SDM di daerah haruslah menjadi prioritas dan menjadi tanggung jawab semua pihak agar daerah juga mampu bersiap diri menghadapi derasnya arus globalisasi.

Menurut Ketua Apkasi Syaukani, minimnya SDM berkualitas bukan hanya mempersulit mengejar ketertinggalan, melainkan juga menjadi kendala serius bagi kinerja pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan sosial.

Di sisi lain, katanya, pemerintah daerah juga tak dapat menutup mata terhadap sejumlah tantangan globalisasi di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Sebagai contoh adanya pasar bebas ASEAN yang sudah di depan mata.

Harus diakui, kata Bupati Kutai Kertenegara menlanjutkan penjelasan, bahwa pendidikan adalah mata rantai utama dalam proses peningkatan kualitas SDM. "Tatkala, kebijakan di bidang pendidikan justru mengakibatkan degradasi secara serius terhadap output pendidikan, maka dapat dipastikan bahwa upaya mempertajam kualitas SDM menjadi terhambat, dan pengaruhnya akan terus merembet ke sektor-sektor lain," paparnya.

Menurunnya kualitas output pendidikan, kata Syaukani, dalam beberapa hal dapat dilihat dari hasil survei UNDP tahun 2001 yang menyebutkan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke-46 dari 47 negara untuk kategori daya saing. Sementara itu, catatan Human Development Index (HDI) Indonesia berada pada urutan ke-109 dari 174 negara. "Kuatnya komitmen pemerintah di sektor pendidikan diyakini menjadi salah satu faktor penting bagi upaya perbaikan dan peningkatan kualitas SDM di Indonesia," ujarnya.

Syaukani mengungkapkan, sejauh ini komitmen pemerintah terhadap dunia pendidikan dinilai belum optimal, seperti selama ini terlihat pada minimnya alokasi anggaran pendidikan dalam APBN yang kurang dari 20 persen. Karenanya, pemerintah juga mesti diingatkan untuk tidak mengulangi kesalahan masa lalu dengan menelurkan kebijakan-kebijakan yang sangat sentralistik.

"Ke depan kebijakan di bidang pendidikan mesti segera dibenahi secara serius. Jika perlu, upaya itu harus dilakukan sampai terwujudnya paradigma baru pada dunia pendidikan kita," tuturnya.

Paradigma pendidikan yang selama ini menempatkan kepentingan kekuasaan secara sentral sudah harus dibuang jauh-jauh diganti dengan paradigma yang menempatkan kepentingan insan akademis (pengajar, pengelola, dan anak didik) di tempat yang utama. Maka dari itu, papar Syaukani, upaya beberapa pemerintah daerah di Indonesia pascapemberlakuan UU Otonomi Daerah, untuk menggenjot pembangunan di bidang sumber daya manusia (antara lain melalui pendidikan dan kesehatan) patut dihargai." Setidaknya merupakan langkah strategis dalam menghadapi peluang dan tantangan di masa depan," tandasnya.(smunet)

Comments

Popular posts from this blog

Makalah pembiayaan pendidikan

Fungsi Gelombang dan Probabilitas

contoh soal persamaan gelombang