Bekerja demi Kuliah

Jakarta (Koran Tempo : 10/09/06) Mereka menjadi ikon kegigihan saat ribuan mahasiswa menunggak uang kuliah. Perkuliahan baru saja usai saat matahari menusuk ubun-ubun.

Sebagian besar mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang, bergegas menuju kantin, perpustakaan, masjid, atau tempat kos. Di sudut taman, seorang mahasiswa berkaus hitam tampak asyik memunguti kardus dan botol plastik bekas air minum kemasan. Aneka barang bekas itu dihimpunnya di dalam sebuah kantong plastik dan dijinjing berdampingan dengan buku-buku filsafat menuju tempat kosnya di Jalan Al-Ikhlas, sekitar 350 meter dari kampus UIN Syarif Hidayatullah. Dia menimbun barang bekas di teras sempit di depan kamar kos yang berukuran 2,5 x 3,5 meter itu.

Lelaki 22 tahun itu memperkenalkan dirinya sebagai Ismanurohman, dengan sapaan Isman. Saking tekunnya memulung sampah, mahasiswa semester V Program Studi Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah itu dijuluki rekan-rekannya sebagai “Pemulung Kampus”. Setiap hari dia mampu mengumpulkan sekitar 20 kilogram barang bekas, yang diletakkannya dengan rapi di depan kamar kosnya. Setelah banyak, barang bekas itu dijualnya ke penadah. “Dari limbah barang bekas ini, saya memperoleh pendapatan Rp 500 ribu tiap bulan,” kata Isman.

Rupanya, uang sebesar itu hanya cukup untuk membayar sewa kamar dan makan setiap hari. Padahal tiap bulan dia harus mengeluarkan total Rp 1,2 juta untuk membayar kamar kos, makan, dan keperluan sehari-hari. Setiap semester dia harus membayar uang kuliah Rp 1,025 juta dan uang buku Rp 300 ribu.

Untuk menambah pundi-pundinya, Isman bekerja serabutan, seperti menjadi perawat kolam renang di kompleks perumahan elite dan bekerja di agen koran. “Dihitung-hitung, penghasilan saya dari semua pekerjaan ini mencapai Rp 1,4 juta sebulan,” kata Isman. Penghasilan itu sudah cukup buat Isman. “Bahkan saya bisa mengirimi orang tua,” ujarnya penuh rasa bangga.

Meski Isman sering pulang larut malam, pekerjaan yang digelutinya itu tidak mengganggu kuliahnya. Buktinya, Isman masuk tiga besar dengan indeks prestasi 3,4.
Awalnya, pekerjaan yang terkesan iseng dan menjurus hina tersebut hanya dilirik sebelah mata. Namun, belakangan, Isman menjadi ikon mahasiswa yang layak diteladankan. Betapa tidak. Saat ribuan mahasiswa di seluruh Indonesia menunggak biaya kuliah, Isman mulus membayar. Kiatnya? “Menghilangkan gengsi dan malu, tapi tetap memegang teguh idealisme,” ujarnya.

Isman tidak sendiri. Di Yogyakarta ada Marsudi Fuad Wardi, 23 tahun, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Putra petani asal Lampung itu harus bekerja sebagai petugas perpustakaan.Marsudi merasa tak canggung saat melayani teman-temannya yang meminjam buku. Maklum, mahasiswa jurusan manajemen fakultas ekonomi angkatan 2001 itu sudah hampir dua tahun bekerja sebagai petugas perpustakaan paruh waktu. “Untuk biaya kuliah dan hidup sehari-hari. Orang tua saya hanya petani kecil di Lampung,” kata Odik, panggilan akrab Marsudi, bangga. Upah Rp 200 ribu per bulan tentu tidaklah cukup. Untuk menambah penghasilan, pada malam hari Odik bekerja sebagai penjaga warung telekomunikasi di Gang Pandega Mandala, tak jauh dari tempat kosnya di Jalan Kaliurang, Yogyakarta.

Lumayan, dari wartel ini, dia mendapat upah Rp 200 ribu per bulan. Selain menggeluti dua pekerjaan tadi, Odik memberikan les kepada anak-anak sekolah. Semua kegiatan itu dia jalani dengan mengayuh sepeda onthel kesayangannya. “Alhamdulillah, indeks prestasi tetap di atas 3,” ungkap Odik. Jerih-payahnya membawa hasil. Sebagian upah yang ditabungnya bisa dipakai untuk menutupi biaya kuliah semester XI. Dia menikmati semua pekerjaannya. “Sejak semester keempat, saya sudah tidak dikirimi uang oleh orang tua,” ujar Odik. Alasannya, kedua adiknya, yang masih duduk di SMA dan SMP, juga membutuhkan biaya sekolah. Odik harus mencari biaya sendiri.

Di kampus lain, seperti Institut Teknologi Bandung, juga banyak mahasiswa kreatif yang menyiasati hidupnya agar bisa kuliah tanpa membebani orang tua. Misalnya seorang mahasiswa teknik sipil yang meminta namanya disamarkan sebagai Arga. “Kerja apa saja, yang penting halal,” kata Arga.Dia lebih memilih berdagang lukisan buatan pamannya. Dengan sistem konsinyasi, Arga membuka galeri kecil-kecilan di tempat kosnya. Hasilnya cukup lumayan, Rp 3-10 juta per lukisan. “Sehari-hari kami sekeluarga bisa hidup dari situ, termasuk untuk membayar uang kuliah,” kata Arga. Semester ini, Arga terpaksa meminta penangguhan pembayaran uang kuliah. Itu ketujuh kalinya dia mengajukan permohonan penangguhan pembayaran uang kuliah sejak masuk ITB enam tahun silam.

Arga tak sendirian. Semester ini di kampusnya terdapat 1.117 mahasiswa S-1 yang meminta penangguhan pembayaran uang kuliah. Menurut Ciptati, Deputi Bidang Pengembangan Karakter dan Kesejahteraan Mahasiswa ITB, jumlah mahasiswa ITB yang menunggak pembayaran uang kuliah mencapai 1.268 orang, dari mahasiswa S-1, S-2, sampai S-3. “Total tunggakan mencapai Rp 2,76 miliar lebih,” kata Ciptati. Mahasiswa yang menunggak, kecuali 75 mahasiswa baru, diberi kesempatan membayar uang kuliahnya sampai Desember 2006.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah pembiayaan pendidikan

Fungsi Gelombang dan Probabilitas

contoh soal persamaan gelombang