Fisikawan Asia

Prof. Daniel Chee Tsui

Daniel Chee Tsui lahir pada tanggal 28 Februari 1939 di sebuah desa kecil, Provinsi Henan, China. Ayah dan ibunya buta huruf dan mereka juga tinggal di desa yang selalu dilanda bencana banjir, kekeringan dan perang. Walaupun buta huruf, ayahnya sangat ingin Tsui sukses, sehingga pada tahun 1951 ayahnya mengirim Tsui ke Hongkong. Setelah lulus sekolah dasar, Tsui melanjutkan ke sekolah menengah Pui Ching, Kowloon, Hongkong, sebuah sekolah menengah yang sangat terkenal di Hongkong.

Setelah lulus sekolah menengah pada tahun 1957, Tsui pindah ke Amerika Serikat pada tahun 1958 karena menerima beasiswa dari Augustana College, Rock Island, Illinois. Setelah Lulus dari Augustana College, Tsui melanjutkan kuliahnya ke University of Chicago, kampus di mana Chen Ning Yang dan Tsung Dao Lee, fisikawan China peraih nobel berada. Tsui memperoleh gelar doktor pada tahun 1968.

Setelah menyelesaikan studinya, Tsui bekerja di Bell Laboratories, New Jersey sebagai peneliti dalam bidang fisika zat padat. Ia adalah perintis dalam studi elektron dua dimensi. Bekerja sama dengan Horst Stormer, Tsui mengembangkan material baru dimana elektron dapat bergerak dipermukaannya tanpa gesekan. Penemuannya ini kini digunakan untuk pembuatan chip-chip komputer yang merupakan peralatan utama untuk era high-tech ini. Penemuannya pada efek hall kuantum fraksional tersebut mengantarnya untuk memperoleh Hadiah Nobel Fisika pada tahun 1998, bersama dengan Robert Laughin dari Stanford University dan Horst Stormer dari Columbia University.

Pada tahun 1982 ia diangkat menjadi profesor teknik elektro pada Princeton University. Walaupun telah menjadi fisikawan yang sangat terkenal, Prof. Tsui masih berkeinginan untuk mengajar. Salah satu mahasiswa Indonesia yang saat ini dibimbingnya adalah Oki Gunawan, peraih medali perunggu Olimpiade Fisika Internasional tahun 1993.

Miskin tidak berarti tidak bisa sukses khan ?

Prof. Abdus Salam

Abdus Salam dilahirkan di Jhang, Lahore, Pakistan, tanggal 29 Januari 1926. Setelah menamatkan Program sarjana di Universitas Punjab, ia melanjurkan studinya ke St. John’s College, Inggris dan berhasil meraih gelar BA untuk bidang matematika dan fisika pada 1949. Pada usia 26 tahun, ia menerima gelar PhD untuk fisika teori dari universitas Cambridge dengan predikat summa cumlaude.

Setelah menyelesaikan studinya, Salam memutuskan untuk pulang ke negerinya karena dipanggil oleh pemerintah Pakistan walaupun ia mendapatkan banyak tawaran untuk mengajar dan menjadi peneliti di almamaternya. Pemerintah Pakistan lalu mengangkat ia sebagai Profesor di Government College, Lahore dan ia juga diangkat sebagai Kepala Departemen Matematika Universitas Punjab. Satu kendala yang dihadapi Salam di negerinya adalah tidak adanya budaya riset dan ia juga tidak mendapat dukungan yang baik. Pemimpinnya bahkan pernah menyarankan agar ia melupakan penelitiannya.

Akhirnya Abdus Salam memilih untuk kembali ke Inggris dan menjadi Professor di Imperial College. Imperial College adalah sebuah Universitas yang sangat terkenal di Inggris. Sejak saat itu, berbagai hasil penelitian dan buah pemikirannya selalu mendapat penghargaan. Salam dipercaya sebagai sekretaris jenderal bidang sains untuk konferensi penggunaan damai energi atom (1955 dan 1958), serta pimpinan komisi enasehat bidang sains dan teknologi (1971-72) di PBB. Selama tiga tahun, ia juga diangkat menjadi penasihat presiden Pakistan, Ayub Khan, untuk menangani perkembangan Iptek di Negerinya. Ia akhirnya mengundurkan diri dari Pemerintahan setelah Ali Bhutto menjadi Perdana Menteri.

Pada tahun 1976, Abdus Salam mendapat penghargaan Nobel Fisika di Karolinska Institute Swedia dan namanya pun tercatat dalam perkembangan ilmu fisika dunia. Ia bersama Steven Weinberg dan Sheldon Glashow dianugerahi Nobel Fisika karena sumbangannya dalam menyatukan gaya elektromagnetik dan gaya nuklir lemah. Teori yang dinamakan elektrolemah (electroweak) menjadi suatu pijakan pengembangan teori penyatuan maha agung (grand unification theory) yang berusaha menyatukan kedua gaya ini dengan gaya inti (gaya kuat). Sekarang teori yang dikembangkan Abdus Salam ini menjadi inti penting dalam pengembangan model standar (stardard model) fisika partikel. Teori Abdus Salam ini telah dibuktikan secara ilmiah melalui eksperimen pada tahun 1983, yang dilakukan oleh Tim dari CERN (Centre European the Recherche Nucleaire) di Jenewa, Swiss, yang dipimpin oleh Carlo Rubia.

Selama hidupnya, Abdus Salam pernah mendapat 39 gelar Doktor Honoris Causa dari berbagai universitas ternama di seluruh dunia. Ia juga dinobatkan menjadi anggota kehormatan Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional di lebih dari 30 negara serta 35 organisasi profesi ilmiah. Salam juga memperoleh tujuh penghargaan atas kontribusinya untuk mengkampanyekan perdamaian serta kerja sama ilmu pengetahuan internasional.

Menjadi ilmuwan yang sangat terkenal tidak membuat Salam lupa diri. ia juga berupaya agar orang-orang yang berasal dari dunia ketiga tidak kehilangan kesempatan menjadi ilmuwan kelas dunia. Ia pun mendirikan ICPT (International Center for Theoritical Physics) di Trieste, Italia,bersama teman-temannya di Eropa dan Amerika, serta atas bantuan PBB, khususnya Lembaga Energi Atom Internasional. Pusat Fisika Teoritis yang didirikannya merupakan sumbangan yang berarti bagi komunitas fisikawan dunia. Perhatiannya yang besar terhadap perkembangan Ilmu Pengetahuan di dunia ketiga mendorongnya untuk mendirikan Akademi Sains Dunia Ketiga dan jaringan organisasi sains dunia ketiga.

Prof. Abdus Salam meninggal dunia di Oxford, Inggris pada hari kamis, tanggal 21 november 1996 pada usia 70 tahun.

Terima kasih prof, atas sumbangannya yang berarti bagi perkembangan ilmu fisika dan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia ketiga.

Ayo, siapa yang berikutnya ? dirimu-kah ?


Prof. Tsung Dao Lee

Tsung Dao Lee dilahirkan di kota shanghai, China, pada tanggal 24 november 1926. ia adalah anak ketiga dari enam bersaudara, buah hati Tsing Kong Lee dan Ming Chang Chang. Setelah lulus dari Sekolah Menengah Kiangsi, Kanchow pada tahun 1943, ia melanjutkan studi pada universitas nasional Chekiang di propinsi Kweichow. Ketika Jepang menginvansi Cina, Lee pindah ke Kunming, Yunnan dan masuk National Southwest Associated University. Di universitas ini ia bertemu dengan Chen Ning Yang, rekannya yang bersama dengan Lee berhasil menerima penghargaan Nobel Fisika.

Setelah memperoleh beasiswa dari Pemerintah China Pada tahun 1946, Lee melanjutkan studinya untuk meraih gelar doktor di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Gelar PhD diterimanya pada usia 24 tahun. Setelah itu, Lee bekerja sebagai peneliti dan dosen di Universitas California, Berkeley. Sejak tahun 1951 hingga 1953 ia juga bergabung dengan institut pendidikan lanjut (Institute of Advanced Study) di Princeton. Selain itu, Lee juga bekerja di Universitas Columbia pada tahun 1953 dan pada usia 29 tahun ia menjadi profesor penuh termuda di sana.

Walaupun Lee dan Walaupun Lee dan Yang berkarya pada tempat yang berbeda, kedua jenius dari China ini selalu berhubungan, baik melalui telepon maupun saling berkujung. Pada tahun 1956 Lee dan Yang mengemukan menerima penghargaan nobel fisika setelah gagasannya (paritas tidak kekal dalam proses elektrolemah (electroweak)) dibuktikan secara eksperimen oleh fisikawan wanita Wu Chien Hsiung dari Universitas Columbia. Ketika menerima hadiah nobel, Lee baru berusia 31 tahun, sehingga Ia menjadi penerima nobel fisika termuda kedua setelah Sir Lawrence Bragg.

Lee juga aktif menulis artikel di jurnal fisika internasional, The Physical Review. Beberapa penghargaan yang diterimanya antara lain Albert Einstein Commemorative Award dalam bidang sains dari Yeshiva University, New York (1957) dan The Science Award of the Newspaper Guild of New York. Ia juga menjadi anggota kehormatan American Physical Society dan The Academia Sinica. Tahun 1958, ia pun dianugerahi gelar DSc dari Princeton University.

Walaupun telah menjadi fisikawan yang sangat terkenal, Lee tetap memiliki kepedulian dengan perkembangan ilmu pengetahuan di negaranya. Melalui program CUSPEA (China-US Physics Examination and Application 1980-1990), ia mengundang mahasiswa terbaik China untuk belajar di Amerika Serikat.

Mudah-mudahan Fisikawan Indonesia yang telah sukses di Amerika Serikat juga memiliki kepedulian seperti Prof. Lee…


Prof. Masatoshi Koshiba

Masatoshi Koshiba lahir di kota Toyohashi, Aichi, Jepang, pada tanggal 19 September 1926. Setelah menyelesaikan pendidikannya di sebuah sekolah menengah atas di Yokosuka, ia menekuni ilmu fisika di Tokyo University. Selama berada di sekolah menengah, Koshiba selalu memperoleh nilai merah. Secara kebetulan ia pernah mendengar gurunya mengatakan bahwa ia tidak mungkin belajar fisika, karena nilainya dalam mata pelajaran sains selalu rendah. Hal ini yang menantang Koshiba untuk belajar fisika secara mendalam, selain ketertarikannya terhadap ilmu fisika setelah ia membaca riwayat hidup para fisikawan, seperti Albert Einstein. Ketika pertama kali ia mendaftar di Tokyo University, ia ditolak. Mungkin karena nilainya yang pas-pasan. Setelah mencoba mendaftar untuk kedua kalinya, ia diterima.? Selama kuliah, ia juga masih memperoleh nilai yang kurang memuaskan. Dengan penuh ketekunan dan kerja keras, Koshiba berhasil menyelesaikan kuliah di Tokyo University pada tahun 1953. Pengalaman memperoleh nilai yang rendah selama di sekolah menengah dan Tokyo University tidak membuatnya patah semangat. Ia masih tetap ingin mendalami ilmu fisika pada jenjang yang lebih tinggi. Berbekal surat rekomendasi dari dosennya di Jepang, Koshiba mendaftarkan diri di University of Rochester, Amerika Serikat. Dalam surat rekomendasi, dosennya menulis bahwa : ” selama kuliah nilainya tidak bagus, tetapi ia juga tidak bodoh”. Ia diterima di University of Rochester dan berhasil memperoleh gelar doktor pada bulan juni 1995.

Setelah menyelesaikan program doktor di Amerika Serikat, Koshiba kembali ke jepang dan mengajar di Tokyo University sampai tahun 1987. Ia diangkat menjadi profesor di Tokyo University. Ketika masih kuliah di kampus tersebut ia sering mendapat nilai yang kurang memuaskan… ternyata ia menjadi profesor di tempat yang sama. Setelah itu ia pindah ke Tokai University dan berkarya di sana hingga ia pensiun pada tahun 1997. Sebulan sebelum ia pindah dari Tokyo University ke Tokai University, tepatnya tanggal 23 Februari 1987 Koshiba berhasil membuktikan keberadaan partikel elementer yang disebut neutrino. Keberhasilan yang ia peroleh setelah bekerja keras tersebut membuahkan penghargaan Nobel Fisika pada tahun 2002. Ia memperoleh nobel fisika bersama Raymond Davis, Jr dan Riccardo Giacconi.

Para fisikawan telah lama dibingungkan dengan keberadaan neutrino, partikel sub atomik. Sejak tahun 1920, para fisikawan memperkirakan bahwa matahri bersinar karena reaksi fusi nuklir yang mengubah hidrogen menjadi helium sambil melepaskan energi. Perhitungan teoritis menunjukkan bahwa sejumlah neutron harus dilepaskan selama rekasi tersebut, karenanya bumi juga kebanjiran neutrino dari matahari. Karena neutrino berinteraksi sangat lemah dengan benda-benda maka diperkirakan hanya satu dari milyaran neutrino matahari yang tertahan di luar angkasa dan sebagian besar neutrino sampai di bumi. Pada tahun 1980, menggunakan hasil rancangan Raymond Davis, Jr, Koshiba membangun detector nuklir bawah tanah. Kerja keras tersebut membuahkan hasil. Detector tersebut berhasil membuktikan adanya neutrino, sebuah penemuan yang membawa Koshiba, menjadi salah satu peraih nobel fisika.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah pembiayaan pendidikan

contoh soal persamaan gelombang

Fungsi Gelombang dan Probabilitas